HUMBEL

Knowledge Management

Cara Mempelajari Hal Baru dengan Learn, Unlearn, dan Relearn

Tulisan ini dimulai dengan sebuah pertanyaan: “Apa yang kamu lakukan kalau ilmu yang kamu pahamin sekarang, ternyata udah nggak sesuai lagi di masa depan?” Bisa jadi, ilmu yang sekarang kita anggap benar, udah berubah dan gak bisa dipakai lagi.

Lho, bukannya ilmu itu sesuatu yang pasti? Kayak 1 + 1 = 2? Udah absolut, paten, baku. Eits, jangan salah. Ternata nggak selamanya kayak gitu. Salah satu bukti gampangnya deh: Covid-19. Ketika pertama kita menemukan penyakit ini, ada fakta-fakta yang berubah seiring berjalannya waktu. Jadi, kita perlu terus meng-upgrade isi kepala kita.

(catatan: 1+1 juga bukan 2 kalau kita lagi ngomongin bilangan biner di sini. :p).

Di samping itu, perubahan teknologi dan sains kita bergerak cepet banget. Dari yang bentuk harddisk segede lemari, lalu berubah jadi micro SD card, sampai sekarang micro SD itu, yang ukurannya segede kuku, udah bisa nampung data sampai 128 GB.

Oke, itu contoh yang kecil aja dan mungkin kelihatannya nggak terlalu berpengaruh. Tapi apa maksud dari ini semua? Ya, bahwa dunia kita geraknya cepat banget. Itu artinya, penemuan-penemuan bisa datang silih berganti. Itu artinya lagi, kita harus siap menghadapi pertanyaan di awal tadi: “Apa jadinya kalau ilmu yang selama ini kita percaya, yang kita anggap benar, ternyata gak bener lagi?”

Jawaban gampangnya: gerak. Mau gak mau, kita harus bergerak mengikuti perkembangan teori dan ilmu pengetahuan yang dinamis. Gak bisa, tuh, kita kekeuh maksain hal yang udah gak relevan lagi.

Masalahnya, mempelajari hal baru itu susah. Alvin Toffler, seorang futurist, pernah bilang, “The illiterate of the 21st century will not be those who cannot read and write, but those who cannot learn, unlearn, and relearn.” atau, kalau diterjemahin secara bebas kurang lebih gini: “Orang-orang yang gagap literasi di abad ke-21 bukan mereka yang gak bisa baca tulis, tetapi yang gak punya kemampuan untuk learn, unlearn, danrelearn.”

Kalau mau diartikan secara dalem, sih, nantinya apa yang kita “baca dan tulis” udah gak begitu berpengaruh. Karena punya pengetahuan ≠ mengerti suatu hal.

quote alvin toffler

Sama kayak yang Alvin bilang, untuk mempelajari hal baru, kita membutuhkan ketiga proses itu: learn, unlearn, dan relearn. Ini sengaja gak diubah ke bahasa Indonesia supaya lebih gampang aja ya. Kasarnya, kita belajar, untuk menghilangkan pelajaran kita itu, untuk kemudian pelajarin hal baru lagi.

Learn

Dalam mempelajari hal baru, step pertama ya pasti mempelajari sesuatu dulu dong. Karena, kalau kita gak belajar apa-apa… YA BERARTI KITA CUMA BELAJAR BIASA AJA WEY. Untuk cara belajar yang efektif, kami punya satu kategori khusus tentang tips belajar. Coba aja klik di sini.

Unlearn

Nah, step 2 ini adalah hal yang paling susah. Karena dalam unlearn, sejatinya kita melakukan ini: melupakan apa yang sudah kita tahu. Bayangin aja. Kamu udah latihan main skateboard sampai menguasai, lalu “belajar buat nggak bisa main skateboard”.

Hayo, pusing nggak tuh?

Atau contoh lain, kamu belajar naik sepeda. Lalu, sepuluh tahun kemudian, kamu menemukan sepeda yang udah dimodifikasi: setirnya dibuat terbalik. Ketika kamu membelokkan setir ke kanan, sepedanya belok kiri dan ketika kamu membelokkan ke kiri, sepedanya belok ke kanan.

Melupakan hal yang udah kita pahamin itu pasti bikin kita gak nyaman. Inilah kenapa unlearn jadi langkah penting sekaligus susah. Coba aja unlearn gaya bahasa yang kamu pakai ketika lagi chatting, atau unlearn style desain yang sering kamu buat, atau unlearn solusi yang biasa kamu pakai untuk mengerjakan kasus yang biasanya kamu temuin, atau unlearn cara kamu melakukan perkalian.

Misalnya, kalau kamu terbiasa melakukan perkalian 25 x 13 dengan mengurutkan ke bawah, coba sekarang metode nyelesainnya dengan mendekatkannya ke bilangan yang ketika dikali jadi ada nol-nya (dalam kasus ini, hitung dulu 25 x 14, baru hasilnya dikurang 25).

Unlearn ini penting karena ketika kita mengulangi hal yang sama, kita menganggap itu sebuah rutinitas yang sudah tahu jawabannya. Pikiran kita jadi menolak ide baru. Padahal, kayak yang udah kita bahas, di masa depan, teori dan ilmu itu dinamis. Bisa berubah kapan aja. Kalau kita terpaku sama rutinitas dan gak mau berubah, mempelajari hal baru jadi persoalan yang susah.

perbandingan rutinitas dan mempelajari hal baru

Beberapa kalimat yang biasanya orang katakan tuh gini: “Gue pernah ngalamin ini. Lakuin gini deh, pasti berhasil.” atau “Oh, kalau modelnya kayak gitu, gue udah tahu jawabannya.”

Kalimat-kalimat itu menjadi tanda kalau kita udah menutup kemungkinan-kemungkinan lain di luar hal yang jadi rutinitas kita. Makanya, hal paling susah adalah melupakan segala sesuatu yang kita anggap kita tahu.

Emang, melupakan itu berat, jendral!

Relearn

Ketika melakukan pembelajaran kembali, pikiran kita harus terbuka. Secara mental, kita harus berani mengatakan “Bisa jadi saya salah”. Barangkali di luar sana ada cara baru, atau pola pikir baru, atau orang-orang baru, atau metode baru yang selama ini tidak saya ketahui.

Misalnya, kalau sebelumnya kamu cuma belajar dengan baca-baca artikel, sekarang coba belajar dengan metode baru: menonton video, atau mendengarkan podcast.

Ada beberapa tips yang bisa kamu lakukan untuk ini: 1) Terbuka dengan kemungkinan baru, 2) Coba hal-hal yang nggak biasa, 3) Berani ambil risiko, 4) Pertanyakan apapun.

Kenapa tiga proses ini penting buat kamu di masa depan? Tentu, supaya ketika waktunya tiba, kapanpun itu, kamu jadi orang yang bisa beradaptasi dengan dunia.

Maka, biar saya tutup tulisan ini dengan kutipan dari buku Future Shock karya Alvin Toffler: “Pendidikan baru seharusnya mengajarkan individu untuk tahu bagaimana caranya mengklasifikasi dan mengklasifikasi ulang suatu informasi, bagaimana mengevaluasi kebenaran, bagaimana mengubah kategori-kategori tertentu ketika dibutuhkan, bagaimana bisa berpindah dari sesuatu yang kongkrit, menjadi abstrak, dan kembali kongkrit, bagaimana melihat suatu masalah dari berbagai sisi—bagaimana mengajarkan dirinya sendiri. Orang-orang yang gagap literasi di masa depan bukan dia yang tidak bisa membaca; dia adalah orang yang tidak punya kemampuan untuk mempelajari sesuatu.

Sumber Artikel : RuangGuru

610 Kali Di Baca